KASUS 1 :
Perang Iklan antar Operator Seluler
Jumlah pengguna seluler meningkat pesat.
Operator seluler juga makin beragam. Kondisi persaingan pun semakin ketat. Tidak heran, para operator seluler sejak lama
telah menabuh genderang perang. Apalagi kalau bukan perang tarif. Segala
saluran komunikasi merek digunakan untuk merebut konsumen. Di antaranya,
melalui iklan. Yang diharapkan adalah reaksi seketika konsumen, yaitu:
pembelian.
Tarif termurah dengan fasilitas terlengkap. Itulah yang digembar gemborkan para operator seluler melalui iklan-iklannya. Tawaran-tawaran dari operator seluler cenderung bombastis dan seringkali berlebihan. Siapa yang tidak tergoda? Bagi konsumen yang sangat peduli pada harga, tawaran ini tentu sangat menggiurkan.
Tarif termurah dengan fasilitas terlengkap. Itulah yang digembar gemborkan para operator seluler melalui iklan-iklannya. Tawaran-tawaran dari operator seluler cenderung bombastis dan seringkali berlebihan. Siapa yang tidak tergoda? Bagi konsumen yang sangat peduli pada harga, tawaran ini tentu sangat menggiurkan.
Tapi apakah harga miring menjadi
satu-satunya faktor penentu keputusan pembelian? Dalam bauran pemasaran, harga
merupakan satu-satunya faktor yang dapat dirubah dan dilihat hasilnya segera.
Sementara, faktor-faktor penentu dalam keputusan pembelian yaitu: pengenalan
masalah, pencarian informasi, evaluasi berbagai alternatif, pembelian, perilaku
pasca pembelian.
Bagi operator seluler, di satu sisi, perang
tarif menjanjikan keuntungan sesaat. Keuntungan yang dinikmati operator seluler
itupun sebenarnya hanya bersifat jangka pendek. Di sisi lain, perang tarif
dapat menjadi bumerang. Bagaimana tidak? Konsumen akan terbiasa dengan tawaran
harga murah. Loyalitas konsumen terhadap merek makin berkurang. Konsumen akan
dengan mudah berpindah ke merek lain. Akibatnya, operator seluler hanya
dianggap sebagai komoditas semata. Padahal, selayaknya operator seluler sebagai
merek (brand) harus lebih memperhatikan pembangunan ekuitas merek yang
bersifat jangka panjang.
Bagaimana perang tarif berlangsung
berlarut-larut? Tampaknya, penegakan hukum pemerintah terhadap kebijakan
perluasan jaringan telekomunikasi ke tanah air masih lemah. Ditambah lagi,
tidak adanya sanksi yang tegas terhadap operator seluler yang belum memenuhi
lisensi modern dalam hal cakupan, dan kualitas layanan. Hal itu, berdampak pada
kecenderungan operator seluler cenderung memusatkan perhatiannya pada
komersialisasi semata. Operator seluler pun lebih memilih membangun jaringan di
wilayah-wilayah yang dianggap lebih menguntungkan.
Dalam keputusan pembelian, konsumen perlu
menimbang dan memperhatikan apakah iklan yang ditawarkan sesuai dengan
kebutuhan. Jika tidak, sebaiknya tidak mudah tergiur dengan tawaran operator
seluler. Karena di balik tawaran harga murah, biasanya ada syarat dan ketentuan
yang berlaku. Selain itu, perlu dipertanyaan bagaimana kapasitas, cakupan
operator seluler, dan kualitas pelayanannya.
KOMENTAR :
Menurut saya dilihat dari pesatnya tingkat
pertumbuhan telekomunikasi di Indonesia, seharusnya operator seluler tidak
hanya memikirkan perang tarif tapi memperbaiki mutu jaringannya karna jika
hanya megusung tarif murah tanpa memperbaiki mutu jaringan maka banyak konsumen
yang tidak akan loyal.
Sumber :
http://bitebrands.blogspot.com/2011/11/iklan-perang-tarif-operator-seluler.html#.UZE13Uo4GEo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar