Selasa, 21 Mei 2013
Senin, 13 Mei 2013
PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI
KASUS 1:
Liputan6.com, Jakarta: Dualisme penyelesaian secara hukum (litigasi) dalam sengketa ekonomi
syariah yang bisa ditangani Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum
dikhawatirkan membuat kegamangan bagi kepastian hukum ekonomi syariah di masa
mendatang. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia
(ASBISINDO) Dr. H. A. Riawan Amin, M.Sc. usai seminar "Penyelesaian Hukum
Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia", yang diselenggarakan Himpunan
Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), Jakarta, Sabtu (18/6).
Riawan Amin berpendapat seharusnya penyelesaian masalah melalui Badan Arbritase Syariah Nasional (Basyarnas) bisa dimaksimalkan. Menurutnya, Badan itu bisa menjadi alternatif untuk menghindari persengketaan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, Ia mengingatkan, jika masalah itu memasuki wilayah persengketaan maka Pengadilan Agamalah yang berhak menanganinya sesuai dengan UU tentang Peradilan Agama No. 50/2009 yang menyempurnakan UU No. 3/2006.
Selain itu, Riawan menambahkan, Mahkamah Agung juga telah banyak menginvestasikan pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta mengirimkan sejumlah hakim agama keluar negeri guna mempelajari berbagai kasus yang menyangkut ekonomi syariah. Karenanya, mantan Direktur Bank Muammalat itu mengimbau agar Bank-bank Syariah ikut mendukungnya, termasuk membawa masalah yang berkenaan dengan ekonomi syariah ke peradilan agama bukan peradilan umum.
Mengenai adanya kesangsian publik atas kemampuan mengatasinya, Riawan meminta agar semua pihak memberikan kesempatan kepada peradilan agama untuk berkembang dengan berlatih menghadapi berbagai kasus. Ia mengingatkan pernyataannya bukanlah keberpihakan namun juga harus dilihat dari kelayakannya. Jika sengketa ekonomi syariah dibawa ke pengadilan umum, mungkin saja hakimnya lebih paham tentang masalah niaga tetapi apakah mereka paham tentang syariah? Begitu juga sebaliknya. "Proporsional saja, mana yang lebih diprioritaskan bisnisnya atau syariahnya?" ujar Riawan.
Hakim Utama Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Drs. H. Khalilrrahman, MH. MBA, berpendapat diperlukan kejelasan pembagian pangaturan dalam sistem peradilan, terutama jika menyangkut masalah hukum ekonomi syariah seharusnya diselesaikan di pengadilan, hakim dan cara sesuai syariah. Menurutnya, beberapa masalah hukum yang ditangani pengadilan agama saat ini tidak hanya masalah perkawinan dan warisan saja, melainkan juga masalah ekonomi. Bahkan, banyak beberapa masalah yang diputuskan cukup memuaskan masyarakat.
Staf ahli Komisi III yang membidangi masalah hukum, Deni Hariyatna, MH. berpendapat keluarnya UU Perbankan Syariah No 21 tahun 2008 merupakan masa transisi bagi Peradilan Agama untuk mempersiapkan menyiapkan baik sumber daya maupun sistemnya lebih baik lagi ke depan. Dalam UU itu pada pasal 55 ayat 22 menyebutkan penyelesaian sengketa memang bisa dilakukan melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas dan a/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Menurutnya, perlu ada peran aktif masyarakat jika ingin mengajukan keberatan atas keluarnya dua UU tersebut jika dianggap tumpang tindih.
Sementara Ketua HISSI Prof. Amin Summa berharap seluruh pihak bisa mencari solusi terbaik dalam menuntaskan dualisme dalam penyelesaikan sengketa hukum ekonomi syariah. Kendati demikian, pihaknya belum berpikir untuk melakukan judicial review karena seminar yang diselenggarakan saat ini baru sebatas mendiskusikan masalah tersebut dengan berbagai kalangan dalam forum.(YUS)
Riawan Amin berpendapat seharusnya penyelesaian masalah melalui Badan Arbritase Syariah Nasional (Basyarnas) bisa dimaksimalkan. Menurutnya, Badan itu bisa menjadi alternatif untuk menghindari persengketaan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, Ia mengingatkan, jika masalah itu memasuki wilayah persengketaan maka Pengadilan Agamalah yang berhak menanganinya sesuai dengan UU tentang Peradilan Agama No. 50/2009 yang menyempurnakan UU No. 3/2006.
Selain itu, Riawan menambahkan, Mahkamah Agung juga telah banyak menginvestasikan pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta mengirimkan sejumlah hakim agama keluar negeri guna mempelajari berbagai kasus yang menyangkut ekonomi syariah. Karenanya, mantan Direktur Bank Muammalat itu mengimbau agar Bank-bank Syariah ikut mendukungnya, termasuk membawa masalah yang berkenaan dengan ekonomi syariah ke peradilan agama bukan peradilan umum.
Mengenai adanya kesangsian publik atas kemampuan mengatasinya, Riawan meminta agar semua pihak memberikan kesempatan kepada peradilan agama untuk berkembang dengan berlatih menghadapi berbagai kasus. Ia mengingatkan pernyataannya bukanlah keberpihakan namun juga harus dilihat dari kelayakannya. Jika sengketa ekonomi syariah dibawa ke pengadilan umum, mungkin saja hakimnya lebih paham tentang masalah niaga tetapi apakah mereka paham tentang syariah? Begitu juga sebaliknya. "Proporsional saja, mana yang lebih diprioritaskan bisnisnya atau syariahnya?" ujar Riawan.
Hakim Utama Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Drs. H. Khalilrrahman, MH. MBA, berpendapat diperlukan kejelasan pembagian pangaturan dalam sistem peradilan, terutama jika menyangkut masalah hukum ekonomi syariah seharusnya diselesaikan di pengadilan, hakim dan cara sesuai syariah. Menurutnya, beberapa masalah hukum yang ditangani pengadilan agama saat ini tidak hanya masalah perkawinan dan warisan saja, melainkan juga masalah ekonomi. Bahkan, banyak beberapa masalah yang diputuskan cukup memuaskan masyarakat.
Staf ahli Komisi III yang membidangi masalah hukum, Deni Hariyatna, MH. berpendapat keluarnya UU Perbankan Syariah No 21 tahun 2008 merupakan masa transisi bagi Peradilan Agama untuk mempersiapkan menyiapkan baik sumber daya maupun sistemnya lebih baik lagi ke depan. Dalam UU itu pada pasal 55 ayat 22 menyebutkan penyelesaian sengketa memang bisa dilakukan melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas dan a/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Menurutnya, perlu ada peran aktif masyarakat jika ingin mengajukan keberatan atas keluarnya dua UU tersebut jika dianggap tumpang tindih.
Sementara Ketua HISSI Prof. Amin Summa berharap seluruh pihak bisa mencari solusi terbaik dalam menuntaskan dualisme dalam penyelesaikan sengketa hukum ekonomi syariah. Kendati demikian, pihaknya belum berpikir untuk melakukan judicial review karena seminar yang diselenggarakan saat ini baru sebatas mendiskusikan masalah tersebut dengan berbagai kalangan dalam forum.(YUS)
KOMENTAR :
Menurut saya kepastian hukum ekonomi
syariah harus cepat diputuskan karena mulai banyaknya bank yang mengusung tema
syariah dan peminat bank syariah mulai meningkat. Dan untuk menghindari jika
terjadi kasus, dan penyelesaian secara hukum belum di tetapkan hal ini akan
membuat kasus lambat diselesaikan.
Sumber :
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
KASUS 1 :
Perang Iklan antar Operator Seluler
Jumlah pengguna seluler meningkat pesat.
Operator seluler juga makin beragam. Kondisi persaingan pun semakin ketat. Tidak heran, para operator seluler sejak lama
telah menabuh genderang perang. Apalagi kalau bukan perang tarif. Segala
saluran komunikasi merek digunakan untuk merebut konsumen. Di antaranya,
melalui iklan. Yang diharapkan adalah reaksi seketika konsumen, yaitu:
pembelian.
Tarif termurah dengan fasilitas terlengkap. Itulah yang digembar gemborkan para operator seluler melalui iklan-iklannya. Tawaran-tawaran dari operator seluler cenderung bombastis dan seringkali berlebihan. Siapa yang tidak tergoda? Bagi konsumen yang sangat peduli pada harga, tawaran ini tentu sangat menggiurkan.
Tarif termurah dengan fasilitas terlengkap. Itulah yang digembar gemborkan para operator seluler melalui iklan-iklannya. Tawaran-tawaran dari operator seluler cenderung bombastis dan seringkali berlebihan. Siapa yang tidak tergoda? Bagi konsumen yang sangat peduli pada harga, tawaran ini tentu sangat menggiurkan.
Tapi apakah harga miring menjadi
satu-satunya faktor penentu keputusan pembelian? Dalam bauran pemasaran, harga
merupakan satu-satunya faktor yang dapat dirubah dan dilihat hasilnya segera.
Sementara, faktor-faktor penentu dalam keputusan pembelian yaitu: pengenalan
masalah, pencarian informasi, evaluasi berbagai alternatif, pembelian, perilaku
pasca pembelian.
Bagi operator seluler, di satu sisi, perang
tarif menjanjikan keuntungan sesaat. Keuntungan yang dinikmati operator seluler
itupun sebenarnya hanya bersifat jangka pendek. Di sisi lain, perang tarif
dapat menjadi bumerang. Bagaimana tidak? Konsumen akan terbiasa dengan tawaran
harga murah. Loyalitas konsumen terhadap merek makin berkurang. Konsumen akan
dengan mudah berpindah ke merek lain. Akibatnya, operator seluler hanya
dianggap sebagai komoditas semata. Padahal, selayaknya operator seluler sebagai
merek (brand) harus lebih memperhatikan pembangunan ekuitas merek yang
bersifat jangka panjang.
Bagaimana perang tarif berlangsung
berlarut-larut? Tampaknya, penegakan hukum pemerintah terhadap kebijakan
perluasan jaringan telekomunikasi ke tanah air masih lemah. Ditambah lagi,
tidak adanya sanksi yang tegas terhadap operator seluler yang belum memenuhi
lisensi modern dalam hal cakupan, dan kualitas layanan. Hal itu, berdampak pada
kecenderungan operator seluler cenderung memusatkan perhatiannya pada
komersialisasi semata. Operator seluler pun lebih memilih membangun jaringan di
wilayah-wilayah yang dianggap lebih menguntungkan.
Dalam keputusan pembelian, konsumen perlu
menimbang dan memperhatikan apakah iklan yang ditawarkan sesuai dengan
kebutuhan. Jika tidak, sebaiknya tidak mudah tergiur dengan tawaran operator
seluler. Karena di balik tawaran harga murah, biasanya ada syarat dan ketentuan
yang berlaku. Selain itu, perlu dipertanyaan bagaimana kapasitas, cakupan
operator seluler, dan kualitas pelayanannya.
KOMENTAR :
Menurut saya dilihat dari pesatnya tingkat
pertumbuhan telekomunikasi di Indonesia, seharusnya operator seluler tidak
hanya memikirkan perang tarif tapi memperbaiki mutu jaringannya karna jika
hanya megusung tarif murah tanpa memperbaiki mutu jaringan maka banyak konsumen
yang tidak akan loyal.
Sumber :
http://bitebrands.blogspot.com/2011/11/iklan-perang-tarif-operator-seluler.html#.UZE13Uo4GEo
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Undang-undang no. 8 Tahun 1999
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha.
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha.
2. Asas keadilan
Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukumDiharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum
Perlindungan konsumen bertujuan:
- meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
- mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
- meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
- menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
- menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
- meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
KASUS 1:
BRTI sendiri memperkirakan ada sekira 60 Content Provider yang melakukan pencurian pulsa dan sudah di-blacklist. Namun sayangnya nama 60 CP tersebut tidak diumumkan. Pihak BRTI juga menambahkan bahwa masalah ini sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi sebelumnya masyarakat tidak tahu istilah CP, mereka hanya tahu pengurangan pulsa ini dilakukan oleh operator. Kini barulah mereka mengerti bahwa yang salah bukan operator melainkan CP yang selalu memotong pulsa mereka.
Telkomsel sendiri mengaku
sudah menegur keras beberapa CP nakal dan menghentikan kerjasama kepada 2 CP
nakal yang tidak bisa lagi diingatkan. Sementara Indosat mengklaim bahwa mereka
sudah mengganti pulsa pelanggan yang ikut tersedot. Pengembalian pulsa mereka
dilakukan melalui galeri Indosat ataupun Call Centre Service (CS) mereka.
Untuk pengembalian pulsa
pelanggan, Telkomsel mengaku mereka telah mengembalikan Rp300 juta ke pelanggan
tiap bulannya, dan pengembalian bisa melalui call-center mereka.
KOMENTAR :
Menurut saya dengan adanya kasus seperti ini banyak pihak yang
dirugikan tidak hanya operator saja. Harusnya sanksi untuk content provider
yang nakal pun dipertegas agar tidak terjadi lagi kasus seperti ini.
Sumber :
http://handayani.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/29660/PERLINDUNGAN+KONSUMEN.(MAHASISWA).doc.
http://www.i-tech.co.id/kasus-sedot-pulsa-makin-merajalela-di-indonesia/
HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)
Pengertian
Hak Atas
Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau
peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut
UU yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah
hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan
kreativitas seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan
permasalahan reputasi dalam bidang komersial (commercial reputation) dan
tindakan / jasa dalam bidang komersial (goodwill).
Dengan
begitu obyek utama dari HaKI adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran, atau
intelektualita manusia. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan
intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran
manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia
memiliki memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa
setiap individu maupun kelompok.
Kita perlu
memahami HaKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan
inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia,
siapa saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam
penciptaan Inovasi-inovasi yang kreatif.
Prinsip-prinsip
Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :
- Prinsip Ekonomi
- Prinsip Keadilan
- Prinsip Kebudayaan
- Prinsip Sosial
Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dalam
penetapan HaKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :
- Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
- Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
- Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
- Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
- Undang-undang Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
- Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
- Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
- Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
- Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Berdasarkan
peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dapat
dilaksanakan. Maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas
pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh
dengan mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan tugas
dari Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum
dan Perundang-undangan Republik Indonesia.
Klasifikasi
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Secara umum
Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori, yaitu :
- Hak Cipta
- Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :
- Hak Paten
- Hak Merek
- Hak Desain Industri
- Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- Hak Rahasia Dagang
- Hak Indikasi
KASUS 1:
Memperbanyak dan atau menjual tanpa seizin pemegang
hak cipta. Pelanggaran ini sering kita dengar sebagai pembajakan software dan
merupakan pelanggaran paling populer di banyak negara, tentu saja termasuk
Indonesia.
KASUS 2:
Memperbanyak dan memberikannya kepada orang lain.
Pelanggaran ini menyalahi banyak undang-undang dari hak cipta. Tetapi dalam
keadaan khusus bisa jadi tindakan ini tidak termasuk pelanggaran.
KASUS 3:
Zynga
memang sudah terlanjur identik dengan game yang berakhiran “Ville”. Dan tak
mengherankan jika mereka menuntut game developer yang berani menggunakan “trade
mark” mereka ke dalam gamenya. Baru-baru
ini Zynga telah mengajukan gugatan hukum pada developer game Eropa, Kobojo atas
gamenya yang dijuluki “PyramidVille”. Game ini telah dirilis tahun lalu pada
mobile device melalui kerjasama dengan BulkyPix. Zynga menuntut Kobojo di Amerika
Serikat dan mengklaim bahwa developer game sengaja melanggar hak merek dagang
mereka dan memanfaatkan reputasi Zynga di dunia game sosial. Zynga berupaya
menghentikan Kobojo untuk menggunakan nama PyramidVille dan juga meminta ganti
rugi atas penggunaan nama tersebut.
KASUS 4:
kasus merek AQUA dan
AQUALIVA. Mahkamah Agung dalam putusannya (perkara No. 014 K/N/HaKI/2003)
menyatakan bahwa pembuat merek Aqualiva mempunyai iktikad tidak baik dengan
mendompleng ketenaran nama Aqua.
KASUS 5:
Kedua,
terkait dengan pertanyaan Bapak tentang kalimat dan kata yang didaftarkan. Salah satu kasus yang pernah diputus MA adalah merek
CORNETTO dan CAMPINA CORNETTO (perkara No. 022 K/N/HaKI/2002). Dalam kasus ini,
MA menyatakan penggugat sebagai pemilik merek Cornetto.
KASUS 6:
Seseorang
dengan tanpa izin membuat situs penyanyi-penyanyi terkenal yang berisikan
lagu-lagu dan liriknya, foto dan cover album dari penyanyi-penyanyi tersebut.
Contoh : Bulan Mei tahun 1997, Group Musik asal Inggris, Oasis, menuntut
ratusan situs internet yang tidak resmi yang telah memuat foto-foto, lagu-lagu
beserta lirik dan video klipnya. Alasan yang digunakan oleh grup musik
tersebbut dapat menimbulkan peluang terjadinya pembuatan poster atau CD yang di
lakukan pihak lain tanpa izin. Kasus lain terjadi di Australia, dimana AMCOS
(The Australian Mechanical Copyright Owners Society) dan AMPAL (The Australian
Music Publishers Association Ltd) telah menghentikan pelanggaran Hak Cipta di
Internet yang dilakukan oleh Mahasiswa di Monash University. Pelanggaran
tersebut terjadi karena para Mahasiswa dengan tanpa izin membuat sebuah situs
Internet yang berisikan lagu-lagu Top 40 yang populer sejak tahun 1989 (Angela
Bowne, 1997 :142) dalam Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Lindsey T
dkk.
KASUS 7:
Seseorang tanpa izin membuat situs di
Internet yang berisikan lagu-lagu milik penyanyi lain yang lagunya belum
dipasarkan. Contoh kasus : Group musik U2 menuntut si pembuat situs internet
yang memuat lagu mereka yang belum dipasarkan (Angela Bowne, 1997 :142) dalam
Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Lindsey T dkk.
KOMENTAR :
Untuk kasus
1,2,5, dan 7 Sangat disayangkan dengan maraknya pembajakan yang merajalela saat
ini. Sedangkan untuk kasus 2,3,dan 4 dapat diketahui akan pentingnya hak cipta
dalam dunia usaha apalagi saat ini banyak jenis produk baru yang bermunculan
bersaing untuk nerebut perhatian masyarakat.
Sumber :
zaki-math.web.ugm.ac.id/matematika/etika_profesi/HAKI_09.ppt
puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=DKV02040203
http://www.kemenperin.go.id/
http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/25/perlunya-melakukan-pendaftaran-hak-kekayaan-industri-industrial-property-rights-bagi-para-pengusaha/
http://desihariantihsiao.blogspot.com/2012/11/pelanggaran-hak-kekayaan-intelektual.html
http://danangsucahyo.blogspot.com/2013/01/perlindungan-undang-undang-hak-cipta.html
http://ariandanugrohosblog.blogspot.com/2011/03/contoh-kasus-haki-dengan.html
http://games.gopego.com/2012/05/zynga-tuntut-kobojo-karena-game-pyramidville
Langganan:
Postingan (Atom)