Senin, 13 Mei 2013

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI



KASUS 1:

Liputan6.com, Jakarta: Dualisme penyelesaian secara hukum (litigasi) dalam sengketa ekonomi syariah yang bisa ditangani Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum dikhawatirkan membuat kegamangan bagi kepastian hukum ekonomi syariah di masa mendatang. Demikian diungkapkan Ketua Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) Dr. H. A. Riawan Amin, M.Sc. usai seminar "Penyelesaian Hukum Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia", yang diselenggarakan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI), Jakarta, Sabtu (18/6).

Riawan Amin berpendapat seharusnya penyelesaian masalah melalui Badan Arbritase Syariah Nasional (Basyarnas) bisa dimaksimalkan. Menurutnya, Badan itu bisa menjadi alternatif untuk menghindari persengketaan melalui musyawarah untuk mufakat. Namun, Ia mengingatkan, jika masalah itu memasuki wilayah persengketaan maka Pengadilan Agamalah yang berhak menanganinya sesuai dengan UU tentang Peradilan Agama No. 50/2009 yang menyempurnakan UU No. 3/2006.

Selain itu, Riawan menambahkan, Mahkamah Agung juga telah banyak menginvestasikan pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta mengirimkan sejumlah hakim agama keluar negeri guna mempelajari berbagai kasus yang menyangkut ekonomi syariah. Karenanya, mantan Direktur Bank Muammalat itu mengimbau agar Bank-bank Syariah ikut mendukungnya, termasuk membawa masalah yang berkenaan dengan ekonomi syariah ke peradilan agama bukan peradilan umum.

Mengenai adanya kesangsian publik atas kemampuan mengatasinya, Riawan meminta agar semua pihak memberikan kesempatan kepada peradilan agama untuk berkembang dengan berlatih menghadapi berbagai kasus. Ia mengingatkan pernyataannya bukanlah keberpihakan namun juga harus dilihat dari kelayakannya. Jika sengketa ekonomi syariah dibawa ke pengadilan umum, mungkin saja hakimnya lebih paham tentang masalah niaga tetapi apakah mereka paham tentang syariah? Begitu juga sebaliknya. "Proporsional saja, mana yang lebih diprioritaskan bisnisnya atau syariahnya?" ujar Riawan.

Hakim Utama Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Drs. H. Khalilrrahman, MH. MBA, berpendapat diperlukan kejelasan pembagian pangaturan dalam sistem peradilan, terutama jika menyangkut masalah hukum ekonomi syariah seharusnya diselesaikan di pengadilan, hakim dan cara sesuai syariah. Menurutnya, beberapa masalah hukum yang ditangani pengadilan agama saat ini tidak hanya masalah perkawinan dan warisan saja, melainkan juga masalah ekonomi. Bahkan, banyak beberapa masalah yang diputuskan cukup memuaskan masyarakat.

Staf ahli Komisi III yang membidangi masalah hukum, Deni Hariyatna, MH. berpendapat keluarnya UU Perbankan Syariah No 21 tahun 2008 merupakan masa transisi bagi Peradilan Agama untuk mempersiapkan menyiapkan baik sumber daya maupun sistemnya lebih baik lagi ke depan. Dalam UU itu pada pasal 55 ayat 22 menyebutkan penyelesaian sengketa memang bisa dilakukan melalui musyawarah, mediasi perbankan, melalui Basyarnas dan a/atau melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Menurutnya, perlu ada peran aktif masyarakat jika ingin mengajukan keberatan atas keluarnya dua UU tersebut jika dianggap tumpang tindih.

Sementara Ketua HISSI Prof. Amin Summa berharap seluruh pihak bisa mencari solusi terbaik dalam menuntaskan dualisme dalam penyelesaikan sengketa hukum ekonomi syariah. Kendati demikian, pihaknya belum berpikir untuk melakukan judicial review karena seminar yang diselenggarakan saat ini baru sebatas mendiskusikan masalah tersebut dengan berbagai kalangan dalam forum.(YUS)

KOMENTAR :

Menurut saya kepastian hukum ekonomi syariah harus cepat diputuskan karena mulai banyaknya bank yang mengusung tema syariah dan peminat bank syariah mulai meningkat. Dan untuk menghindari jika terjadi kasus, dan penyelesaian secara hukum belum di tetapkan hal ini akan membuat kasus lambat diselesaikan.

Sumber :

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

KASUS 1 :

Perang Iklan antar Operator Seluler

Jumlah pengguna seluler meningkat pesat. Operator seluler juga makin beragam. Kondisi persaingan pun semakin ketat. Tidak heran, para operator seluler sejak lama telah menabuh genderang perang. Apalagi kalau bukan perang tarif. Segala saluran komunikasi merek digunakan untuk merebut konsumen. Di antaranya, melalui iklan. Yang diharapkan adalah reaksi seketika konsumen, yaitu: pembelian.

Tarif termurah dengan fasilitas terlengkap. Itulah yang digembar gemborkan para operator seluler melalui iklan-iklannya. Tawaran-tawaran dari operator seluler cenderung bombastis dan seringkali berlebihan. Siapa yang tidak tergoda? Bagi konsumen yang sangat peduli pada harga, tawaran ini tentu sangat menggiurkan.

Tapi apakah harga miring menjadi satu-satunya faktor penentu keputusan pembelian? Dalam bauran pemasaran, harga merupakan satu-satunya faktor yang dapat dirubah dan dilihat hasilnya segera. Sementara, faktor-faktor penentu dalam keputusan pembelian yaitu: pengenalan masalah, pencarian informasi, evaluasi berbagai alternatif, pembelian, perilaku pasca pembelian.

Bagi operator seluler, di satu sisi, perang tarif menjanjikan keuntungan sesaat. Keuntungan yang dinikmati operator seluler itupun sebenarnya hanya bersifat jangka pendek. Di sisi lain, perang tarif dapat menjadi bumerang. Bagaimana tidak? Konsumen akan terbiasa dengan tawaran harga murah. Loyalitas konsumen terhadap merek makin berkurang. Konsumen akan dengan mudah berpindah ke merek lain. Akibatnya, operator seluler hanya dianggap sebagai komoditas semata. Padahal, selayaknya operator seluler sebagai merek (brand) harus lebih memperhatikan pembangunan ekuitas merek yang bersifat jangka panjang.

Bagaimana perang tarif berlangsung berlarut-larut? Tampaknya, penegakan hukum pemerintah terhadap kebijakan perluasan jaringan telekomunikasi ke tanah air masih lemah. Ditambah lagi, tidak adanya sanksi yang tegas terhadap operator seluler yang belum memenuhi lisensi modern dalam hal cakupan, dan kualitas layanan. Hal itu, berdampak pada kecenderungan operator seluler cenderung memusatkan perhatiannya pada komersialisasi semata. Operator seluler pun lebih memilih membangun jaringan di wilayah-wilayah yang dianggap lebih menguntungkan.

Dalam keputusan pembelian, konsumen perlu menimbang dan memperhatikan apakah iklan yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan. Jika tidak, sebaiknya tidak mudah tergiur dengan tawaran operator seluler. Karena di balik tawaran harga murah, biasanya ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Selain itu, perlu dipertanyaan bagaimana kapasitas, cakupan operator seluler, dan kualitas pelayanannya.

KOMENTAR :
Menurut saya dilihat dari pesatnya tingkat pertumbuhan telekomunikasi di Indonesia, seharusnya operator seluler tidak hanya memikirkan perang tarif tapi memperbaiki mutu jaringannya karna jika hanya megusung tarif murah tanpa memperbaiki mutu jaringan maka banyak konsumen yang tidak akan loyal.

Sumber :
http://bitebrands.blogspot.com/2011/11/iklan-perang-tarif-operator-seluler.html#.UZE13Uo4GEo

PERLINDUNGAN KONSUMEN



Undang-undang no. 8 Tahun 1999
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha.
2. Asas keadilan
Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum


Perlindungan konsumen bertujuan:
  1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
  2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
  3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
  4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
  5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
  6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
KASUS 1:

Kasus Sedot Pulsa di Indonesia Makin Merajalela 2012- Pada awal Oktober lalu, seorang pengguna melaporkan penyedotan pulsanya oleh operator. Ia langsung melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwajib, sontak satu negeri pun heboh. Awal dari kasus pencurian pulsa itu adalah ketika pengguna mendapat SMS, dan tanpa sepengetahuan pengguna, pulsa habis tersedot beberapa rupiah. Pemotongan pulsa tersebut memang berawal merespon SMS dari content provider (CP) oleh para pengguna. Karena sudah dianggap mengganggu banyak pengguna yang berhenti berlangganan. Namun sayangnya, hal tersebut sulit dilakukan.
BRTI sendiri memperkirakan ada sekira 60 Content Provider yang melakukan pencurian pulsa dan sudah di-blacklist. Namun sayangnya nama 60 CP tersebut tidak diumumkan. Pihak BRTI juga menambahkan bahwa masalah ini sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi sebelumnya masyarakat tidak tahu istilah CP, mereka hanya tahu pengurangan pulsa ini dilakukan oleh operator. Kini barulah mereka mengerti bahwa yang salah bukan operator melainkan CP yang selalu memotong pulsa mereka.
Telkomsel sendiri mengaku sudah menegur keras beberapa CP nakal dan menghentikan kerjasama kepada 2 CP nakal yang tidak bisa lagi diingatkan. Sementara Indosat mengklaim bahwa mereka sudah mengganti pulsa pelanggan yang ikut tersedot. Pengembalian pulsa mereka dilakukan melalui galeri Indosat ataupun Call Centre Service (CS) mereka.
Untuk pengembalian pulsa pelanggan, Telkomsel mengaku mereka telah mengembalikan Rp300 juta ke pelanggan tiap bulannya, dan pengembalian bisa melalui call-center mereka.

KOMENTAR :
Menurut saya dengan adanya kasus seperti ini banyak pihak yang dirugikan tidak hanya operator saja. Harusnya sanksi untuk content provider yang nakal pun dipertegas agar tidak terjadi lagi kasus seperti ini.

Sumber :

http://handayani.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/29660/PERLINDUNGAN+KONSUMEN.(MAHASISWA).doc.
http://www.i-tech.co.id/kasus-sedot-pulsa-makin-merajalela-di-indonesia/

HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)



Pengertian
Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam bidang komersial (goodwill).
Dengan begitu obyek utama dari HaKI adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran, atau intelektualita manusia. Kata “intelektual” tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.
Kita perlu memahami HaKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan Inovasi-inovasi yang kreatif.

Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut :

  •  Prinsip Ekonomi

  • Prinsip Keadilan
  •  Prinsip Kebudayaan
  • Prinsip Sosial
Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dalam penetapan HaKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :
  • Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
  • Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
  • Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
  • Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
  • Undang-undang Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
  • Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of   Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
  • Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
  • Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of             Literary and Artistic Works
  • Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) dapat dilaksanakan. Maka setiap individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas pemikiran-pemikiran kreatif mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh dengan mendaftarkannya ke pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan  tugas dari Direktorat Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia.

Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua kategori, yaitu :
  1. Hak Cipta
  2. Hak Kekayaan Industri, yang meliputi :
    1. Hak Paten
    2. Hak Merek
    3. Hak Desain Industri
    4. Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
    5. Hak Rahasia Dagang
    6. Hak Indikasi
KASUS 1:
Memperbanyak dan atau menjual tanpa seizin pemegang hak cipta. Pelanggaran ini sering kita dengar sebagai pembajakan software dan merupakan pelanggaran paling populer di banyak negara, tentu saja termasuk Indonesia.

KASUS 2:
Memperbanyak dan memberikannya kepada orang lain. Pelanggaran ini menyalahi banyak undang-undang dari hak cipta. Tetapi dalam keadaan khusus bisa jadi tindakan ini tidak termasuk pelanggaran. 

KASUS 3:
Zynga memang sudah terlanjur identik dengan game yang berakhiran “Ville”. Dan tak mengherankan jika mereka menuntut game developer yang berani menggunakan “trade mark” mereka ke dalam gamenya. Baru-baru ini Zynga telah mengajukan gugatan hukum pada developer game Eropa, Kobojo atas gamenya yang dijuluki “PyramidVille”. Game ini telah dirilis tahun lalu pada mobile device melalui kerjasama dengan BulkyPix. Zynga menuntut Kobojo di Amerika Serikat dan mengklaim bahwa developer game sengaja melanggar hak merek dagang mereka dan memanfaatkan reputasi Zynga di dunia game sosial. Zynga berupaya menghentikan Kobojo untuk menggunakan nama PyramidVille dan juga meminta ganti rugi atas penggunaan nama tersebut.

KASUS 4:
kasus merek AQUA dan AQUALIVA. Mahkamah Agung dalam putusannya (perkara No. 014 K/N/HaKI/2003) menyatakan bahwa pembuat merek Aqualiva mempunyai iktikad tidak baik dengan mendompleng ketenaran nama Aqua.

KASUS 5:
Kedua, terkait dengan pertanyaan Bapak tentang kalimat dan kata yang didaftarkan. Salah satu kasus yang pernah diputus MA adalah merek CORNETTO dan CAMPINA CORNETTO (perkara No. 022 K/N/HaKI/2002). Dalam kasus ini, MA menyatakan penggugat sebagai pemilik merek Cornetto.

KASUS 6:
Seseorang dengan tanpa izin membuat situs penyanyi-penyanyi terkenal yang berisikan lagu-lagu dan liriknya, foto dan cover album dari penyanyi-penyanyi tersebut. Contoh : Bulan Mei tahun 1997, Group Musik asal Inggris, Oasis, menuntut ratusan situs internet yang tidak resmi yang telah memuat foto-foto, lagu-lagu beserta lirik dan video klipnya. Alasan yang digunakan oleh grup musik tersebbut dapat menimbulkan peluang terjadinya pembuatan poster atau CD yang di lakukan pihak lain tanpa izin. Kasus lain terjadi di Australia, dimana AMCOS (The Australian Mechanical Copyright Owners Society) dan AMPAL (The Australian Music Publishers Association Ltd) telah menghentikan pelanggaran Hak Cipta di Internet yang dilakukan oleh Mahasiswa di Monash University. Pelanggaran tersebut terjadi karena para Mahasiswa dengan tanpa izin membuat sebuah situs Internet yang berisikan lagu-lagu Top 40 yang populer sejak tahun 1989 (Angela Bowne, 1997 :142) dalam Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Lindsey T dkk.

KASUS 7:
Seseorang tanpa izin membuat situs di Internet yang berisikan lagu-lagu milik penyanyi lain yang lagunya belum dipasarkan. Contoh kasus : Group musik U2 menuntut si pembuat situs internet yang memuat lagu mereka yang belum dipasarkan (Angela Bowne, 1997 :142) dalam Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Lindsey T dkk.

KOMENTAR :
Untuk kasus 1,2,5, dan 7 Sangat disayangkan dengan maraknya pembajakan yang merajalela saat ini. Sedangkan untuk kasus 2,3,dan 4 dapat diketahui akan pentingnya hak cipta dalam dunia usaha apalagi saat ini banyak jenis produk baru yang bermunculan bersaing untuk nerebut perhatian masyarakat. 

Sumber :
zaki-math.web.ugm.ac.id/matematika/etika_profesi/HAKI_09.ppt
puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=DKV02040203
http://www.kemenperin.go.id/
http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/25/perlunya-melakukan-pendaftaran-hak-kekayaan-industri-industrial-property-rights-bagi-para-pengusaha/
http://desihariantihsiao.blogspot.com/2012/11/pelanggaran-hak-kekayaan-intelektual.html
http://danangsucahyo.blogspot.com/2013/01/perlindungan-undang-undang-hak-cipta.html
http://ariandanugrohosblog.blogspot.com/2011/03/contoh-kasus-haki-dengan.html
http://games.gopego.com/2012/05/zynga-tuntut-kobojo-karena-game-pyramidville